“Yen
ing tawang ono lintang… Cah ayu… Aku ngenteni ….” Terdengar suara merdu nan
lembut dari seorang wanita yang menyanyikan lagu jawa.
“Ehm,
Nilam…” seorang paruh baya keluar dari bilik bambu.
“Ah,
eyang” gadis yang sedang asyik bercermin
dan melantunkan tembang jawa itu kemudian berpaling dan tersenyum ke arah
seseorang yang memanggilnya.
Nilam,
seorang gadis berusia 17 tahun yang hidup di tengah kemajuan kota Yogyakarta.
Seorang siswi sekolah menengah atas yang menggeluti modelling berkat
kemenangannya pada sebuah ajang putri budaya.
“Wah,
cucu eyang cantik sekali ya? Pantas saja bisa jadi putri budaya” ujar wanita
paruh baya dengan mengelus rambut cucu
perempuan yang sangat disayanginya itu.
“Hehe,
eyang bisa aja. Eyang juga cantik kok” jawab Nilam dengan senyum manis.
“Nilam,
eyang punya sesuatu buat kamu”
“Apa
ini eyang? Nilam nggak ulang tahun eyang” Nilam menerima kotak berbungkus motif
batik tersebut dengan penuh tanda tanya.
“Nilam
buka ketika Nilam mau tidur ya? Dan ikuti kata hatimu” jawab eyang dengan
singkat tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan di pikiran Nilam.
***
Malam
pun tiba. Usai mengerjakan tugas libur semester, Nilam hendak menuju tempat
tidur. Namun, ketika hendak memejamkan mata, Nilam teringat pemberian eyang siang
tadi yang ia simpan di dalam lemari pakaian. Dia kemudian mengurungkan niatnya
untuk tidur dan beranjak mengambil kotak batik di dalam lemari pakaian.
Dibawanya kotak itu kedepan meja riasnya. Ada jutaan pertanyaan dalam benak
Nilam. Tanpa ragu, Nilam segera membuka kotak batik tersebut.
Kain
batik berwarna ungu dengan motif tak beraturan. Nilam sangat terkejut dengan
pemberian eyang. Bukankah eyang tahu ia
membenci warna ungu dan tak begitu suka dengan batik meski ia seorang putri
budaya? Nilam agak kecewa dengan pemberian itu.
“Eyang,
apa-apaan sih? Kenapa ngasih beginian? Nggak asik banget, buat apa coba? Nggak ada
gunanya” gerutu Nilam sambil membentangkan kain batik itu.
Saat
itu juga sebuah kertas kuning jatuh ke lantai. Nilam pun memungutnya dan
membuka dengan perlahan.
“Nilam,
eyang pergi dahulu. Kalau Nilam ingin mencari eyang, ikuti kata hati Nilam.
Salam cinta dari eyang” singkat dan padat isi surat yang ternyata dari eyang.
Sesaat
kemudian Nilam baru menyadari kepergian eyang. Ia langsung berlari ke kamar
eyang. Dan benar saja eyang tak ada di kamar. Air mata Nilam mulai berlinang.
Lalu ia berjalan kembali menuju kamarnya, namun suasana terasa berbeda dengan
biasanya. Padahal ini bukan kali pertamanya ia harus bermalam dirumah sendiri.
Ia mencoba menenangkan diri namun tetap saja hatinya merasa tak tenang.
Akhirnya
Nilam mempercepat langkahnya menuju kamar tidur. Sebelum Nilam memejamkan mata,
ia memikirkan kembali isi surat eyang. Nilam memutuskan besok pagi ia akan
berusaha mencari keberadaan eyang.
***
Sinar
mentari membangunkan Nilam dari tidurnya. Ia menggeliat dari posisi tidurnya.
Sedetik kemudian matanya langsung terbuka lebar mengingat kejadian
menghilangnya eyang semalam. Nilam bergegas meninggalkan tempat tidur dan
menuju kamar mandi. Namun, ada sesuatu yang menyandungnya. Kotak pemberian
eyang di depan kamar mandi. Nilam ingat benar bahwa semalam kotak itu berada di
meja rias bukan di laintai. Nilam semakin ketakutan dengan semua keanehan ini
dan bergegas mandi dan bersiap untuk mencari eyang.
Usai
bersiap Nilam langsung menyambar kain batik pemberian eyang dan segera pergi
meninggalkan rumah karena ketakutan. Dalam perjalanan entah kemana, Nilam
bertambah bingung dengan tujuan pencarian eyang.
“Ikuti
kata hati? Maksudnya apa sih? Nggak ada alamat gimana bisa nyari?” gerutu Nilam
dalam hati.
Tiba-tiba
taksi yang dinaiki Nilam mogok. Nilampun harus turun di tengah jalan. Betapa
kesalnya Nilam harus berjalan ditengah terik panas matahari dan udara yang
berdebu. Ditambah tragedi tabrakan dengan seseorang yang membuatnya kehilangan
tas dan bajunya rusak. Yang tersisa hanya kain pemberian eyang. Tidak mungkin
Nilam melanjutkan perjalanan dengan keadaan seperti ini.
Akhirnya
di ambang keputus asaan Nilam menemukan sebuah butik yang menjual beberapa
baju. Nilam berpikir ia akan mendapatkan kemurahan hati sang pemilik dan
menerima pemberian baju dari sang pemilik.
Nilam
memberanikan diri masuk dan meminta sebuah baju untuk dikenakan. Betapa kecewa
hati Nilam ketika sang pemilik tak memberinya sebuah pakaian. Namun, sang
pemilik mengajukan sebuah solusi.
“Saya
lihat kamu bawa kain batik. Kenapa kamu tidak membuatnya di tempai ini? Saya
akan meminjamkan alat-alatnya. Jika sudah jadi, baju itu boleh kamu pakai
gratis.”
Tak
pernah terbesit dipikiran Nilam ia akan membuat baju. Ia saja sangat tidak
tertarik dengan hal semacam itu. Namun kali ini tak ada pilihan lain, Nilam
harus membuat pakaiannya sendiri. susah payah iya membuat pola, memotong kain,
menjahit potongan demi potongan kain. Walaupun banyak kesalahan, dalam waktu
kurang dari 5 jam sebuah dress yang sederhana namun cantik pun jadi.
Tiba-tiba
seorang pelanggan butik menanyakan karyanya.
“Mbak,
berapa harga dress batik itu?” Tanya seorang pengunjung.
“Oh
maaf ini tidak dijual” jawab Nilam.
“Sayang
ya, padahal saya berani membayar banyak” jawab si pengunjung meninggalkan Nilam
dalam keterkejutan.
Akhirnya
Nilam menemukan jawaban dari pernyataan pengunjung butik tadi dari sang
pemilik.
“Memang
batik kamu itu batik langka dan bernilai seni tinggi. Makanya dia berani
menjual mahal. Tapi mengapa kamu tidak berniat menjualnya? Kamu bisa membeli 2
atau 3 baju dari uang itu” terang sang pemilik butik.
“Oh
begitu. Memangnya dimana saya bisa mendapatkan batik semacam ini?” Tanya Nilam
lebih lanjut.
“Dulu
saya pernah buat baju dari batik semacam itu. Saya beli dari sebuah rumah batik
di daerah industri” jawab sang pemilik sambil mengingat-ingat sesuatu.
“Terimakasih”
usai mengucapkan terimakasih Nilam langsung berlari meninggalkan butik
tersebut.
Ditengah-tengah
pelariannya, Nilam berhenti dan berpikir bagaimana ia bisa mencapai daerah industri
itu dengan cepat sedangkan ia tak memiliki uang. Akhirnya Nilam memilih pilihan
gila, yaitu dengan berlari dan menumpang
kendaraan lain puluhan kilometer untuk mencapai daerah industri tersebut. Hal
yang rasanya mustahil sebelumnya, namun sekarang menjadi kenyataan.
Sesampainya
di daerah industri tersebut, Nilam baru menyadari kesalahannya. Mengapa ia tak
menanyakan nama rumah batik itu? Sekarang tidak mungkin Nilam akan bertanya
pada satu persatu di rumah-rumah batik yang ada.
Ditengah
pencarian Nilam, ia melihat kain batik yang sedang dijemur di depan sebuah
rumah batik dengan nama Kharisma. Entah naluri apa yang membuat Nilam ingin masuk
dan melihat lebih dekat. Ketika tangannya hanya tinggal beberapa senti
menyentuh kain tersebut, sebuah suara membuyarkan pandangannya.
“Apa
yang membuatmu menyukai batik ini?” seorang wanita membuka suara.
“Ah
maaf. Bukan, bukan. Saya biasa saja dengan batik ini. Hanya saja seperti ada
yang menarik saya untuk mendekat” jawab Nilam sambil tetap mengagumi batik
tersebut.
“Masuklah
nak. Kelihatannya kamu mencari sesuatu” ajak wanita tersebut sambil menggandeng
tangan Nilam.
Nilam
pun mengiyakan ajakan tersebut tanpa berkomentar. Didalam rumah batik tersebut
banyak kesibukan seputar pembuatan batik. Mulai dari member menggambar, member
malam hingga pewarnaan. Semuanya dikerjakan oleh kaum hawa. Nilam baru sadar
bahwa ia dibawa kesuatu ruangan setelah ia dipersilahkan duduk oleh wanita itu.
“Apa
yang akan saya lakukan disini?” Tanya Nilam penuh kebingungan.
“Buatlah
mimpimu disini nak” ujar wanita tersebut kemudian meninggalkan Nilam sendiri
dalam ruangan.
Tersedia
berbagai alat yang ia lihat ketika melewati jejeran proses pembuatan batik.
Nilam meraih selembar kain putih dan memikirkan sesuatu. Tanpa berpikir panjang
Nilam segera mengotak atik semua peralatan dalam ruangan tersebut. Dalam
benaknya hanya membuat batik, padahal sebenarnya ia tak tahu bagaimana cara
membuat batik.
Beberapa
jam kemudian sebuah kain batik telah tercipta. Nilam membentangkan kain yang
telah ia ciptakan, dan sebuah senyum mengembang dari wajahnya. Namun, sebuah
suara membuyarkan lamunannya.
“Bagus
ya batik cucu eyang?”
Nilam
sedikit terkejut dengan suara tersebut. Namun, keterkejutan itu berubah menjadi
kebahagiaan ketika Nilam tahu itu adalah eyang yang sempat menghilang.
“Eyaaang….”
Teriak Nilam sambil berlari kearah eyang dan memeluknya.
“Ternyata
cucu eyang pintar membatik dan membuat baju yang cantik” goda eyang dengan
sennyum pada Nilam.
“Darimana
eyang tahu yang membuat batik dan baju yang Nilam kenakan ini Nilam
sendiri? Jangan-jangan eyang sudah
merencanakan ini? ” Tanya Nilam penuh selidik.
“Tentu
saja eyang tahu. Maafkan eyang Nilam. Eyang hanya ingin Nilam tahu tentang
semua ini. Buktinya Nilam tahu dan bisa melewati semua kan? Tidak serumit yang
kamu kira” jawab eyang seraya tersenyum.
Sejak
saat itu Nilam mulai mengagumi kesenian batik. Nilam juga menjalankan perannya
sebagai putri budaya dengan baik. Berkat rentetan kejadian itu Nilam sekarang
menjadi seorang desainer batik muda. (Lat’z)