Copyright © Jejak Karya
Design by Dzignine
Minggu, 10 November 2013

Untuk Dia



            Kebersamaan dan kesetiaan memang dambaan setiap orang yang mencintai orang lain. Namun, dua hal tersebut adalah dua perkara yang berbeda. Kebersamaan yang tak disertai kesetiaan itu hanyalah dusta. Tapi kesetiaan yang tak disertai kebersamaan itulah ketulusan. Kesetiaan yang sejati hanya milik insan yang mencintai dengan tulus dan ikhlas.
            Deretan huruf dalam paragraf tersebut membuatku tak dapat berpikir jernih. Membawaku dalam lamunan jauh dan angan yang tak tersentuh. Siapapun tak akan dapat mengerti apa yang aku rasakan, karena aku sendiri tak dapat menerjemahkan bahasa hatiku saat ini. Namaku Klarisa, aku seorang gadis yang sedang menempuh bangku sekolah menengah atas. Aku termasuk tipe gadis yang mudah memendam masalah, sehingga apapun yang terjadi padaku hanya aku simpan sebagai rahasia pribadiku, kusimpan rapat-rapat dalam hati agar tak seorangpun tahu. Sampai pada satu permasalahan yang tak dapat kusimpan seorang diri. Aku harus membaginya dengan orang yang bermain peran dalam cerita ini.
            Aku hanyalah gadis biasa dan seperti gadis remaja pada umumnya. Gadis yang telah berkenalan dengan satu kata dalam kamus remaja, yakni cinta. Aku telah mengenal dengan dekat seorang pemuda. Pemuda yang aku kenal sejak aku masih mengenakan seragam almameter putih biru. Kami bertemu dalam ketidak sengajaan dan berlanjut hingga menjadi keseriusan. Awalnya kami hanya sebatas berteman, kemudian bersahabat. Berawal dari persahabatan itulah kami mulai mengenal lebih dekat satu sama lain. Hingga akhirnya kami membuat hubungan kami menjadi sebuah hubungan dengan komitmen. Hubungan kami masih illegal karena kedua orang tuaku belum mengetahui. Hingga suatu saat aku menceritakan semuanya kepada ibuku. Saat aku menceritakan semuanya kepada ibuku aku telah mengakhiri komitmenku dengannya. Sehingga kami hanya berjalan bersama beriringan.
            Ibu paham benar bagaimana perasaanku padanya, begitu pula sebaliknya. Ibuku menyukai pemuda itu, karena dia adalah pemuda yang baik dan agamis. Mungkin ibu berpikir dia baik untukku karena perlahan dapat membawa pengaruh baik untukku yang notabene gadis biasa pada umumnya yang tidak terlalu agamis. Waktu berlalu, semakin lama ibu mengenalnya dengan baik. Jika ibuku telah mengetahui semuanya, aku yakin ayahku juga mengetahui hal serupa. Namun, karena notabene ayahku adalah tipe pendiam, ayah lebih banyak memendam semuanya. Waktu masih terus berjalan, begitu pula perjalananku dengannya. Walaupun kami telah mengakhiri hubungan, namun perasaan tetaplah perasaan yang tak dapat di ubah dengan mudah. Aku masih sering bertemu dengannya, dia juga sering berkunjung ke rumahku entah untuk suatu keperluan atau hanya sekedar mampir.
             Hingga suatu malam ketika aku sedang membicarakan pemuda itu dengan ibu, ayah mengatakan bahwa aku masih berada dalam masa sekolah. Masih sekolah tingkat dasar dan tidak seharusnya mengenal hal semacam itu. Kata-kata itu lalu mengikuti setiap langkahku, melekat kuat dalam pikiranku yang kemudian menyadarkan aku. Aku tahu, ayah juga menganggap pemuda itu pemuda yang sangat baik. Aku yakin ayah sebenarnya menyukai pemuda itu jika dia denganku. Ayah hanya mengkhawatirkan aku. Pada akhirnya, aku sudah tak kuasa menahan semuannya sendiri. Aku memutuskan untuk membaginya dengan pemuda itu. Mungkin dia memiliki solusi dalam hal ini.
            Aku mulai menceritakan semua padanya. Kurasa dia masih bingung dengan maksud pembicaraanku. Kemudian dia bertanya.
“Lalu apa maksudmu menceritakan ini semua?”
“Kamu tahu bagaimana perasaanku padamu. Aku tahu bagaimana kamu menyayangiku dan berkorban banyak untukku selama ini. Tapi aku juga menyayangi dan menghormati ayahku”
“Apa kamu ingin mengatakan bahwa kamu ingin benar-benar mengakhiri semuanya?”
“Tidak, bukan begitu maksudku. Aku juga tidak berniat mengembalikan amanah yang kau titipkan padaku. Aku hanya ingin menyeimbangkan semuanya. Antara kau dan ayahku”
“Lalu, apa yang kau inginkan sehingga berkata sedemikian itu?”
“Kau paham benar bagaimana hatiku padamu. Kau juga telah menitipkan sebuah amanah kepadaku. Apa itu berarti kau percaya padaku?”
“Aku sangat percaya padamu”
“Kalau begitu, izinkan aku mengatakan suatu hal. Simpan dan jaga baik-baik perasaanmu kepadaku, jangan kau beritahu siapapun tentang hal ini. Aku juga akan melakukan hal yang sama. Anggap kita hanya teman biasa, anggap kita hanya saling mengagumi, anggap aku belum mengetahui tentang perasaanmu itu. Begitu pun sebaliknya kamu belum tahu kalau aku menyukaimu”
“Apa ini? Bagaimana bisa aku melakukan hal itu?”
“Kamu bisa melakukan hal ini. Jika kamu yakin akan hatimu, kamu yakin bahwa kesetiaan kadang tak sejalan dengan kebersamaan. Yakinlah bahwa Tuhan akan menjaga perasaan kita berdua”
“Tidak, aku tidak mungkin sanggup melakukan hal itu”
“Kamu tahu, bagaimana aku sangat menghormati dan sangat ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Aku mencintaimu, tapi aku juga menghormati ayahku. Jika benar kamu mencintai dan menyayangiku, kamu akan bisa melewati semua ini. Dan jika saatnya tiba, kau boleh mengatakan bahwa kau mencintaiku kepada ayahku”
“Tapi…”
“Jika memang kau tak dapat menerima alasanku karena ayahku. Maka dengarlah alasan keduaku, mengapa aku mengatakan hal ini padamu. Kau adalah pemuda yang sangat baik dimataku, dan memang pada kenyataannya kau baik. Kepribadian dan sikapmu selama ini begitu terkesan dihatiku. Aku yakin, kau adalah pemuda yang baik untukku. Tapi semua itu membuatku sadar, bahwa aku bukan gadis yang baik untukmu. Ketahuilah aku tak sesempurna kelihatannya, aku tak sebaik yang kau kira. Jika menyadari hal itu ingin rasanya aku pergi berlari jauh darimu. Namun, aku tak bisa karena ku juga sadar bahwa aku terlalu menyayangimu. Aku takut kehilangan sosokmu yang selalu menjadi embun dalam pagiku. Dengan alasan bahwa aku bukan gadis yang baik untukmu dan kamu terlalu baik untukku, maka ijinkan aku sedikit melangkah jauh darimu dan membawa perasaanku untuk kusimpan dan ku jaga dalam hati. Aku akan berusaha menjadi sosok baik yang pantas untukmu. Percayalah, jika saat itu tiba aku akan kembali kepadamu dan memberikan hatiku untukmu lagi, sepenuhnya…”

0 komentar:

Posting Komentar