Kebersamaan
dan kesetiaan memang dambaan setiap orang yang mencintai orang lain. Namun, dua
hal tersebut adalah dua perkara yang berbeda. Kebersamaan yang tak disertai
kesetiaan itu hanyalah dusta. Tapi kesetiaan yang tak disertai kebersamaan
itulah ketulusan. Kesetiaan yang sejati hanya milik insan yang mencintai dengan
tulus dan ikhlas.
Deretan
huruf dalam paragraf tersebut membuatku tak dapat berpikir jernih. Membawaku
dalam lamunan jauh dan angan yang tak tersentuh. Siapapun tak akan dapat mengerti
apa yang aku rasakan, karena aku sendiri tak dapat menerjemahkan bahasa hatiku
saat ini. Namaku Klarisa, aku seorang gadis yang sedang menempuh bangku sekolah
menengah atas. Aku termasuk tipe gadis yang mudah memendam masalah, sehingga
apapun yang terjadi padaku hanya aku simpan sebagai rahasia pribadiku, kusimpan
rapat-rapat dalam hati agar tak seorangpun tahu. Sampai pada satu permasalahan
yang tak dapat kusimpan seorang diri. Aku harus membaginya dengan orang yang
bermain peran dalam cerita ini.
Aku
hanyalah gadis biasa dan seperti gadis remaja pada umumnya. Gadis yang telah
berkenalan dengan satu kata dalam kamus remaja, yakni cinta. Aku telah mengenal
dengan dekat seorang pemuda. Pemuda yang aku kenal sejak aku masih mengenakan
seragam almameter putih biru. Kami bertemu dalam ketidak sengajaan dan
berlanjut hingga menjadi keseriusan. Awalnya kami hanya sebatas berteman,
kemudian bersahabat. Berawal dari persahabatan itulah kami mulai mengenal lebih
dekat satu sama lain. Hingga akhirnya kami membuat hubungan kami menjadi sebuah
hubungan dengan komitmen. Hubungan kami masih illegal karena kedua orang tuaku
belum mengetahui. Hingga suatu saat aku menceritakan semuanya kepada ibuku.
Saat aku menceritakan semuanya kepada ibuku aku telah mengakhiri komitmenku dengannya.
Sehingga kami hanya berjalan bersama beriringan.
Ibu
paham benar bagaimana perasaanku padanya, begitu pula sebaliknya. Ibuku
menyukai pemuda itu, karena dia adalah pemuda yang baik dan agamis. Mungkin ibu
berpikir dia baik untukku karena perlahan dapat membawa pengaruh baik untukku
yang notabene gadis biasa pada umumnya yang tidak terlalu agamis. Waktu
berlalu, semakin lama ibu mengenalnya dengan baik. Jika ibuku telah mengetahui
semuanya, aku yakin ayahku juga mengetahui hal serupa. Namun, karena notabene
ayahku adalah tipe pendiam, ayah lebih banyak memendam semuanya. Waktu masih
terus berjalan, begitu pula perjalananku dengannya. Walaupun kami telah
mengakhiri hubungan, namun perasaan tetaplah perasaan yang tak dapat di ubah
dengan mudah. Aku masih sering bertemu dengannya, dia juga sering berkunjung ke
rumahku entah untuk suatu keperluan atau hanya sekedar mampir.
Hingga suatu malam ketika aku sedang
membicarakan pemuda itu dengan ibu, ayah mengatakan bahwa aku masih berada
dalam masa sekolah. Masih sekolah tingkat dasar dan tidak seharusnya mengenal
hal semacam itu. Kata-kata itu lalu mengikuti setiap langkahku, melekat kuat
dalam pikiranku yang kemudian menyadarkan aku. Aku tahu, ayah juga menganggap
pemuda itu pemuda yang sangat baik. Aku yakin ayah sebenarnya menyukai pemuda
itu jika dia denganku. Ayah hanya mengkhawatirkan aku. Pada akhirnya, aku sudah
tak kuasa menahan semuannya sendiri. Aku memutuskan untuk membaginya dengan pemuda
itu. Mungkin dia memiliki solusi dalam hal ini.
Aku
mulai menceritakan semua padanya. Kurasa dia masih bingung dengan maksud
pembicaraanku. Kemudian dia bertanya.
“Lalu apa
maksudmu menceritakan ini semua?”
“Kamu tahu
bagaimana perasaanku padamu. Aku tahu bagaimana kamu menyayangiku dan berkorban
banyak untukku selama ini. Tapi aku juga menyayangi dan menghormati ayahku”
“Apa kamu
ingin mengatakan bahwa kamu ingin benar-benar mengakhiri semuanya?”
“Tidak,
bukan begitu maksudku. Aku juga tidak berniat mengembalikan amanah yang kau
titipkan padaku. Aku hanya ingin menyeimbangkan semuanya. Antara kau dan
ayahku”
“Lalu, apa
yang kau inginkan sehingga berkata sedemikian itu?”
“Kau paham
benar bagaimana hatiku padamu. Kau juga telah menitipkan sebuah amanah
kepadaku. Apa itu berarti kau percaya padaku?”
“Aku
sangat percaya padamu”
“Kalau
begitu, izinkan aku mengatakan suatu hal. Simpan dan jaga baik-baik perasaanmu
kepadaku, jangan kau beritahu siapapun tentang hal ini. Aku juga akan melakukan
hal yang sama. Anggap kita hanya teman biasa, anggap kita hanya saling mengagumi,
anggap aku belum mengetahui tentang perasaanmu itu. Begitu pun sebaliknya kamu
belum tahu kalau aku menyukaimu”
“Apa ini?
Bagaimana bisa aku melakukan hal itu?”
“Kamu bisa
melakukan hal ini. Jika kamu yakin akan hatimu, kamu yakin bahwa kesetiaan kadang
tak sejalan dengan kebersamaan. Yakinlah bahwa Tuhan akan menjaga perasaan kita
berdua”
“Tidak,
aku tidak mungkin sanggup melakukan hal itu”
“Kamu
tahu, bagaimana aku sangat menghormati dan sangat ingin membahagiakan kedua
orang tuaku. Aku mencintaimu, tapi aku juga menghormati ayahku. Jika benar kamu
mencintai dan menyayangiku, kamu akan bisa melewati semua ini. Dan jika saatnya
tiba, kau boleh mengatakan bahwa kau mencintaiku kepada ayahku”
“Tapi…”
“Jika
memang kau tak dapat menerima alasanku karena ayahku. Maka dengarlah alasan
keduaku, mengapa aku mengatakan hal ini padamu. Kau adalah pemuda yang sangat
baik dimataku, dan memang pada kenyataannya kau baik. Kepribadian dan sikapmu
selama ini begitu terkesan dihatiku. Aku yakin, kau adalah pemuda yang baik
untukku. Tapi semua itu membuatku sadar, bahwa aku bukan gadis yang baik
untukmu. Ketahuilah aku tak sesempurna kelihatannya, aku tak sebaik yang kau
kira. Jika menyadari hal itu ingin rasanya aku pergi berlari jauh darimu.
Namun, aku tak bisa karena ku juga sadar bahwa aku terlalu menyayangimu. Aku
takut kehilangan sosokmu yang selalu menjadi embun dalam pagiku. Dengan alasan
bahwa aku bukan gadis yang baik untukmu dan kamu terlalu baik untukku, maka
ijinkan aku sedikit melangkah jauh darimu dan membawa perasaanku untuk kusimpan
dan ku jaga dalam hati. Aku akan berusaha menjadi sosok baik yang pantas
untukmu. Percayalah, jika saat itu tiba aku akan kembali kepadamu dan
memberikan hatiku untukmu lagi, sepenuhnya…”
0 komentar:
Posting Komentar