Copyright © Jejak Karya
Design by Dzignine
Rabu, 30 April 2014

The Journey of My Love Part 2



Benar saja tiga hari setelah aku putus dengannya, Rika memberikan informasi padaku kalau ternyata orang tua Reno bercerai. Aku shocked mendengar informasi tersebut. Perasaanku mulai tak keruan, menyesal, marah pada diriku sendiri, bingung harus berbuat apa. Tapi aku juga kecewa dengan sikapnya padaku, sebelum aku putus darinya banyak informasi yang kuterima kalau Reno sedang dekat dengan si A, si B, si C, dan si si yang lain. Hati cewek mana yang tidak sakit diperlakukan seperti itu dan setiap aku menanyakan tentang kebenaran semua cerita itu pada Reno, dia selalu bilang kalau itu hanya temannya. Haahh.. entahlah aku mulai muak dengan semua ini.
“Udahlah Ghe, lo harus move on dari Reno,” ucap Cila yang entah dari kapan dia duduk disampingku
“Iya gue pengennya juga kayak gitu, tapi La..” aku belum sempat menyelesaikan kalimatku Cila sudah menyelanya.
“Tapi apa? Tapi lo masih sayang dia? Iya? Ghe dengerin gue ya. Gue tahu lo sayang sama Reno tapi kalau dia cuma bisa nyakitin lo doang, terus buat apa lo mikirin dia lagi, dia lagi, percuma Ghe,” nasihat Cila panjang lebar padaku. Aku tidak bisa menjawab ucapan Cila, karena apa yang dia katakan itu memang benar.
“Udah lo tenang aja gue akan bantu lo nyari cowok yang jauh lebih segalanya dari Reno,” aku terkejut dengan ucapan Cila, tapi aku sudah tak punya tenaga untuk membantah ucapannya. Aku tersenyum pasrah pada Cila. Satu pekan setelah perbincangan kami itu Cila memberiku kabar kalau ada anak yang suka sama aku. Dika namanya, dia satu sekolah denganku hanya berbeda kelas. Dia juga atlet futsal di sekolahku, dan benar saja kami jadian. Aku mencoba membuka hatiku untuk Dika, kujalani hubungan ini dengan serius, aku tidak mau menyakiti perasaan orang lain. Setiap Dika bertanding futsal aku selalu ikut untuk memberikan semangat padanya.
“Semangat ya kamu pasti menang,” aku memberikan semangat padanya.
“Iya dong pasti, aku titip hp ya?” Dika menyerahkan hp nya padaku.
Aku cuma melemparkan senyuman padanya. Sebenarnya hari ini aku ditemani Cila tapi sampai tengah-tengah pertandingan dia belum juga menampakkan batang hidungnya.
“Ghea!!” nah itu dia Cila datang.
“Panjang umur lo..” kataku ketika Cila sudah duduk disampingku.
Sorry tadi gue masih ada urusan,” jelasnya.
“Dasar kebiasaan, masa balas SMS aja nggak sempet?” tanya ku sambil memperhatikan pertandingan.
“Hehehe,” dia hanya tertawa garing.
Drrrrttt.... tiba-tiba hp Dika bergetar ada pesan masuk tanpa nama. Aku membuka SMS itu dan berbagai prasangka buruk hinggap dikepala ku karena SMS itu seperti pesan yang ditujukan untuk sang kekasihnya.
“Ghe, kenapa??” tanya Cila, kuberikan hp itu pada Cila.
“Udah lo jangan berprasangka buruk dulu siapa tahu ini kakaknya. Ntar lo tanyain langsung ke orangnya,” lagi-lagi Cila menenangkanku.
Aku terdiam. Mataku memanas, kenapa semua cowok hanya bisa menyakit hati perempuan. Apa di dunia ini sudah tidak ada lagi cowok yang setia?
Seusai tanding Dika menghampiriku dengan senyumnya yang merekah karena timnya menang. Aku mencoba membalas dengan senyuman juga. Di perjalanan pulang aku menyakan pesan itu padanya.
Btw, selamat ya..” aku mengucapkan selamat atas kemenangannya.
“Iya makasih itu juga karena doa kamu,” jawabnya.
“Em, tadi ada SMS. Tapi nggak ada namanya, siapa?” aku mencari kata-kata yang tepat supaya dia tidak tersinggung.
“Oh, itu ibu aku,” jawabnya singkat.
“Ibu? Oh..” aku tidak percaya, tapi aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat.
“Tapi aku tidak boleh gegabah. Aku  harus cari tahu,” batinku. Tanpa sepengetahuan Dika, aku mengambil nomor itu dari hp nya. Dan aku mencoba untuk menghubungi nomor itu.
“Halo.
“Iya ini siapa?”
“Gue Ghea, pacar Dika. Lo siapa? Kata Dika ini nomor ibunya?”
“Ha? Ibunya bukan gue pacar Dika. Lo jangan ngaku-ngaku deh.
“A..apa???” aku benar-benar kaget mendengar ucapannya. Kututup teleponya dan buliran air mata mulai membasahi pipiku. Tuhan kenapa engkau memberikan aku laki-laki yang seperti itu semua? Sakit Tuhan rasanya dikhianati terus menerus padahal aku selalu berusaha setia, tapi kenapa balasannya seperti ini? Keesokan harinya aku putus dengan Dika dan yang lebih menyakitkan lagi tidak ada kata maaf sekalipun darinya, dan kelihatannya dia juga santai saja aku putusin.
“Gue emang bodoh, ternyata selama ini dia cuma mainin gue. Bodoh, bodoh, bodoh,” aku marah pada diriku sendiri.
Bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar