Benar saja tiga hari setelah aku putus dengannya,
Rika memberikan informasi padaku kalau ternyata orang tua Reno bercerai. Aku shocked
mendengar informasi tersebut. Perasaanku mulai tak keruan, menyesal, marah pada
diriku sendiri, bingung harus berbuat apa. Tapi aku juga kecewa dengan sikapnya
padaku, sebelum aku putus darinya banyak informasi yang kuterima kalau Reno
sedang dekat dengan si A, si B, si C, dan si si yang lain. Hati cewek mana yang
tidak sakit diperlakukan seperti itu dan setiap aku menanyakan tentang kebenaran
semua cerita itu pada Reno, dia selalu bilang kalau itu hanya temannya. Haahh..
entahlah aku mulai muak dengan semua ini.
“Udahlah Ghe, lo harus move
on dari Reno,” ucap Cila
yang entah dari kapan dia duduk disampingku
“Iya gue pengennya juga kayak gitu, tapi La..” aku belum sempat
menyelesaikan kalimatku Cila sudah menyelanya.
“Tapi apa? Tapi lo masih sayang dia? Iya? Ghe dengerin gue ya. Gue
tahu lo sayang sama Reno tapi kalau dia cuma bisa nyakitin lo doang,
terus buat apa lo mikirin dia lagi, dia lagi, percuma Ghe,”
nasihat Cila panjang lebar padaku. Aku tidak bisa menjawab ucapan Cila, karena
apa yang dia katakan itu memang benar.
“Udah lo tenang aja gue akan bantu lo nyari cowok yang jauh lebih
segalanya dari Reno,” aku terkejut
dengan ucapan Cila, tapi aku sudah tak punya tenaga untuk membantah ucapannya. Aku
tersenyum pasrah pada Cila. Satu pekan setelah perbincangan kami itu Cila
memberiku kabar kalau ada anak yang suka sama aku. Dika namanya, dia satu
sekolah denganku hanya berbeda kelas. Dia juga atlet futsal di sekolahku, dan
benar saja kami jadian. Aku mencoba membuka hatiku untuk Dika, kujalani
hubungan ini dengan serius, aku tidak mau
menyakiti perasaan orang lain. Setiap Dika bertanding futsal aku selalu ikut
untuk memberikan semangat padanya.
“Semangat ya kamu pasti menang,”
aku memberikan semangat padanya.
“Iya dong pasti, aku titip hp ya?”
Dika menyerahkan hp nya padaku.
Aku cuma melemparkan senyuman padanya. Sebenarnya hari ini aku
ditemani Cila tapi sampai tengah-tengah pertandingan dia belum juga menampakkan
batang hidungnya.
“Ghea!!” nah itu dia Cila datang.
“Panjang umur lo..” kataku ketika Cila sudah duduk disampingku.
“Sorry tadi gue masih ada urusan,”
jelasnya.
“Dasar kebiasaan, masa balas SMS aja nggak sempet?” tanya ku sambil
memperhatikan pertandingan.
“Hehehe,” dia hanya
tertawa garing.
Drrrrttt.... tiba-tiba hp Dika bergetar ada pesan masuk tanpa nama.
Aku membuka SMS itu dan berbagai prasangka buruk hinggap dikepala ku karena SMS
itu seperti pesan yang ditujukan untuk sang kekasihnya.
“Ghe, kenapa??”
tanya Cila, kuberikan hp itu pada Cila.
“Udah lo jangan berprasangka buruk dulu siapa tahu ini kakaknya.
Ntar lo tanyain langsung ke orangnya,”
lagi-lagi Cila menenangkanku.
Aku terdiam. Mataku memanas,
kenapa semua cowok hanya bisa menyakit hati perempuan. Apa di dunia
ini sudah tidak ada lagi cowok yang setia?
Seusai tanding Dika menghampiriku dengan senyumnya yang merekah
karena timnya menang. Aku mencoba
membalas dengan senyuman juga. Di perjalanan
pulang aku menyakan pesan itu padanya.
“Btw, selamat ya..” aku mengucapkan selamat atas
kemenangannya.
“Iya makasih itu juga karena doa kamu,”
jawabnya.
“Em, tadi ada SMS. Tapi nggak ada namanya, siapa?” aku mencari
kata-kata yang tepat supaya dia tidak tersinggung.
“Oh, itu ibu aku,” jawabnya
singkat.
“Ibu? Oh..”
aku tidak percaya, tapi aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat.
“Tapi
aku tidak boleh gegabah. Aku harus cari
tahu,”
batinku. Tanpa sepengetahuan Dika, aku mengambil nomor itu dari hp nya. Dan aku
mencoba untuk menghubungi nomor itu.
“Halo.”
“Iya ini siapa?”
“Gue Ghea, pacar Dika. Lo siapa? Kata Dika ini nomor ibunya?”
“Ha? Ibunya bukan gue pacar Dika. Lo jangan ngaku-ngaku deh.”
“A..apa???” aku benar-benar kaget mendengar ucapannya. Kututup teleponya
dan buliran air mata mulai membasahi pipiku. Tuhan kenapa engkau memberikan aku
laki-laki yang seperti itu semua? Sakit Tuhan rasanya dikhianati terus menerus
padahal aku selalu berusaha setia, tapi kenapa balasannya seperti ini? Keesokan
harinya aku putus dengan Dika dan yang lebih menyakitkan lagi tidak ada kata
maaf sekalipun darinya, dan kelihatannya dia juga santai saja aku putusin.
“Gue emang bodoh, ternyata selama
ini dia cuma mainin gue. Bodoh, bodoh, bodoh,”
aku marah pada diriku sendiri.
Bersambung...
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar