Copyright © Jejak Karya
Design by Dzignine
Minggu, 10 November 2013

Batik Nilam


            “Yen ing tawang ono lintang… Cah ayu… Aku ngenteni ….” Terdengar suara merdu nan lembut dari seorang wanita yang menyanyikan lagu jawa.
            “Ehm, Nilam…” seorang paruh baya keluar dari bilik bambu.
            “Ah, eyang”  gadis yang sedang asyik bercermin dan melantunkan tembang jawa itu kemudian berpaling dan tersenyum ke arah seseorang yang memanggilnya.
            Nilam, seorang gadis berusia 17 tahun yang hidup di tengah kemajuan kota Yogyakarta. Seorang siswi sekolah menengah atas yang menggeluti modelling berkat kemenangannya pada sebuah ajang putri budaya.
            “Wah, cucu eyang cantik sekali ya? Pantas saja bisa jadi putri budaya” ujar wanita paruh baya  dengan mengelus rambut cucu perempuan yang sangat disayanginya itu.
            “Hehe, eyang bisa aja. Eyang juga cantik kok” jawab Nilam dengan senyum manis.
            “Nilam, eyang punya sesuatu buat kamu”
            “Apa ini eyang? Nilam nggak ulang tahun eyang” Nilam menerima kotak berbungkus motif batik tersebut dengan penuh tanda tanya.
            “Nilam buka ketika Nilam mau tidur ya? Dan ikuti kata hatimu” jawab eyang dengan singkat tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan di pikiran Nilam.
***
            Malam pun tiba. Usai mengerjakan tugas libur semester, Nilam hendak menuju tempat tidur. Namun, ketika hendak memejamkan mata, Nilam teringat pemberian eyang siang tadi yang ia simpan di dalam lemari pakaian. Dia kemudian mengurungkan niatnya untuk tidur dan beranjak mengambil kotak batik di dalam lemari pakaian. Dibawanya kotak itu kedepan meja riasnya. Ada jutaan pertanyaan dalam benak Nilam. Tanpa ragu, Nilam segera membuka kotak batik tersebut.
            Kain batik berwarna ungu dengan motif tak beraturan. Nilam sangat terkejut dengan pemberian  eyang. Bukankah eyang tahu ia membenci warna ungu dan tak begitu suka dengan batik meski ia seorang putri budaya? Nilam agak kecewa dengan pemberian itu.
            “Eyang, apa-apaan sih? Kenapa ngasih beginian? Nggak asik banget, buat apa coba? Nggak ada gunanya” gerutu Nilam sambil membentangkan kain batik itu.
            Saat itu juga sebuah kertas kuning jatuh ke lantai. Nilam pun memungutnya dan membuka dengan perlahan.
            “Nilam, eyang pergi dahulu. Kalau Nilam ingin mencari eyang, ikuti kata hati Nilam. Salam cinta dari eyang” singkat dan padat isi surat yang ternyata dari eyang.
            Sesaat kemudian Nilam baru menyadari kepergian eyang. Ia langsung berlari ke kamar eyang. Dan benar saja eyang tak ada di kamar. Air mata Nilam mulai berlinang. Lalu ia berjalan kembali menuju kamarnya, namun suasana terasa berbeda dengan biasanya. Padahal ini bukan kali pertamanya ia harus bermalam dirumah sendiri. Ia mencoba menenangkan diri namun tetap saja hatinya merasa tak tenang.
            Akhirnya Nilam mempercepat langkahnya menuju kamar tidur. Sebelum Nilam memejamkan mata, ia memikirkan kembali isi surat eyang. Nilam memutuskan besok pagi ia akan berusaha mencari keberadaan eyang.
***
            Sinar mentari membangunkan Nilam dari tidurnya. Ia menggeliat dari posisi tidurnya. Sedetik kemudian matanya langsung terbuka lebar mengingat kejadian menghilangnya eyang semalam. Nilam bergegas meninggalkan tempat tidur dan menuju kamar mandi. Namun, ada sesuatu yang menyandungnya. Kotak pemberian eyang di depan kamar mandi. Nilam ingat benar bahwa semalam kotak itu berada di meja rias bukan di laintai. Nilam semakin ketakutan dengan semua keanehan ini dan bergegas mandi dan bersiap untuk mencari eyang.
            Usai bersiap Nilam langsung menyambar kain batik pemberian eyang dan segera pergi meninggalkan rumah karena ketakutan. Dalam perjalanan entah kemana, Nilam bertambah bingung dengan tujuan pencarian eyang.
            “Ikuti kata hati? Maksudnya apa sih? Nggak ada alamat gimana bisa nyari?” gerutu Nilam dalam hati.
            Tiba-tiba taksi yang dinaiki Nilam mogok. Nilampun harus turun di tengah jalan. Betapa kesalnya Nilam harus berjalan ditengah terik panas matahari dan udara yang berdebu. Ditambah tragedi tabrakan dengan seseorang yang membuatnya kehilangan tas dan bajunya rusak. Yang tersisa hanya kain pemberian eyang. Tidak mungkin Nilam melanjutkan perjalanan dengan keadaan seperti ini.
            Akhirnya di ambang keputus asaan Nilam menemukan sebuah butik yang menjual beberapa baju. Nilam berpikir ia akan mendapatkan kemurahan hati sang pemilik dan menerima pemberian baju dari sang pemilik.
            Nilam memberanikan diri masuk dan meminta sebuah baju untuk dikenakan. Betapa kecewa hati Nilam ketika sang pemilik tak memberinya sebuah pakaian. Namun, sang pemilik mengajukan sebuah solusi.
            “Saya lihat kamu bawa kain batik. Kenapa kamu tidak membuatnya di tempai ini? Saya akan meminjamkan alat-alatnya. Jika sudah jadi, baju itu boleh kamu pakai gratis.”
            Tak pernah terbesit dipikiran Nilam ia akan membuat baju. Ia saja sangat tidak tertarik dengan hal semacam itu. Namun kali ini tak ada pilihan lain, Nilam harus membuat pakaiannya sendiri. susah payah iya membuat pola, memotong kain, menjahit potongan demi potongan kain. Walaupun banyak kesalahan, dalam waktu kurang dari 5 jam sebuah dress yang sederhana namun cantik pun jadi.
            Tiba-tiba seorang pelanggan butik menanyakan karyanya.
            “Mbak, berapa harga dress batik itu?” Tanya seorang pengunjung.
            “Oh maaf ini tidak dijual” jawab Nilam.
            “Sayang ya, padahal saya berani membayar banyak” jawab si pengunjung meninggalkan Nilam dalam keterkejutan.
            Akhirnya Nilam menemukan jawaban dari pernyataan pengunjung butik tadi dari sang pemilik.
            “Memang batik kamu itu batik langka dan bernilai seni tinggi. Makanya dia berani menjual mahal. Tapi mengapa kamu tidak berniat menjualnya? Kamu bisa membeli 2 atau 3 baju dari uang itu” terang sang pemilik butik.
            “Oh begitu. Memangnya dimana saya bisa mendapatkan batik semacam ini?” Tanya Nilam lebih lanjut.
            “Dulu saya pernah buat baju dari batik semacam itu. Saya beli dari sebuah rumah batik di daerah industri” jawab sang pemilik sambil mengingat-ingat sesuatu.
            “Terimakasih” usai mengucapkan terimakasih Nilam langsung berlari meninggalkan butik tersebut.
            Ditengah-tengah pelariannya, Nilam berhenti dan berpikir bagaimana ia bisa mencapai daerah industri itu dengan cepat sedangkan ia tak memiliki uang. Akhirnya Nilam memilih pilihan gila, yaitu dengan  berlari dan menumpang kendaraan lain puluhan kilometer untuk mencapai daerah industri tersebut. Hal yang rasanya mustahil sebelumnya, namun sekarang menjadi kenyataan.
            Sesampainya di daerah industri tersebut, Nilam baru menyadari kesalahannya. Mengapa ia tak menanyakan nama rumah batik itu? Sekarang tidak mungkin Nilam akan bertanya pada satu persatu di rumah-rumah batik yang ada.
            Ditengah pencarian Nilam, ia melihat kain batik yang sedang dijemur di depan sebuah rumah batik dengan nama Kharisma. Entah naluri apa yang membuat Nilam ingin masuk dan melihat lebih dekat. Ketika tangannya hanya tinggal beberapa senti menyentuh kain tersebut, sebuah suara membuyarkan pandangannya.
            “Apa yang membuatmu menyukai batik ini?” seorang wanita membuka suara.
            “Ah maaf. Bukan, bukan. Saya biasa saja dengan batik ini. Hanya saja seperti ada yang menarik saya untuk mendekat” jawab Nilam sambil tetap mengagumi batik tersebut.
            “Masuklah nak. Kelihatannya kamu mencari sesuatu” ajak wanita tersebut sambil menggandeng tangan Nilam.
            Nilam pun mengiyakan ajakan tersebut tanpa berkomentar. Didalam rumah batik tersebut banyak kesibukan seputar pembuatan batik. Mulai dari member menggambar, member malam hingga pewarnaan. Semuanya dikerjakan oleh kaum hawa. Nilam baru sadar bahwa ia dibawa kesuatu ruangan setelah ia dipersilahkan duduk oleh wanita itu.
            “Apa yang akan saya lakukan disini?” Tanya Nilam penuh kebingungan.
            “Buatlah mimpimu disini nak” ujar wanita tersebut kemudian meninggalkan Nilam sendiri dalam ruangan.
            Tersedia berbagai alat yang ia lihat ketika melewati jejeran proses pembuatan batik. Nilam meraih selembar kain putih dan memikirkan sesuatu. Tanpa berpikir panjang Nilam segera mengotak atik semua peralatan dalam ruangan tersebut. Dalam benaknya hanya membuat batik, padahal sebenarnya ia tak tahu bagaimana cara membuat batik.
            Beberapa jam kemudian sebuah kain batik telah tercipta. Nilam membentangkan kain yang telah ia ciptakan, dan sebuah senyum mengembang dari wajahnya. Namun, sebuah suara membuyarkan lamunannya.
            “Bagus ya batik cucu eyang?”
            Nilam sedikit terkejut dengan suara tersebut. Namun, keterkejutan itu berubah menjadi kebahagiaan ketika Nilam tahu itu adalah eyang yang sempat menghilang.
            “Eyaaang….” Teriak Nilam sambil berlari kearah eyang dan memeluknya.
            “Ternyata cucu eyang pintar membatik dan membuat baju yang cantik” goda eyang dengan sennyum pada Nilam.
            “Darimana eyang tahu yang membuat batik dan baju yang Nilam kenakan ini Nilam sendiri?  Jangan-jangan eyang sudah merencanakan ini? ” Tanya Nilam penuh selidik.
            “Tentu saja eyang tahu. Maafkan eyang Nilam. Eyang hanya ingin Nilam tahu tentang semua ini. Buktinya Nilam tahu dan bisa melewati semua kan? Tidak serumit yang kamu kira” jawab eyang seraya tersenyum.
            Sejak saat itu Nilam mulai mengagumi kesenian batik. Nilam juga menjalankan perannya sebagai putri budaya dengan baik. Berkat rentetan kejadian itu Nilam sekarang menjadi seorang desainer batik muda. (Lat’z)

Untuk Dia



            Kebersamaan dan kesetiaan memang dambaan setiap orang yang mencintai orang lain. Namun, dua hal tersebut adalah dua perkara yang berbeda. Kebersamaan yang tak disertai kesetiaan itu hanyalah dusta. Tapi kesetiaan yang tak disertai kebersamaan itulah ketulusan. Kesetiaan yang sejati hanya milik insan yang mencintai dengan tulus dan ikhlas.
            Deretan huruf dalam paragraf tersebut membuatku tak dapat berpikir jernih. Membawaku dalam lamunan jauh dan angan yang tak tersentuh. Siapapun tak akan dapat mengerti apa yang aku rasakan, karena aku sendiri tak dapat menerjemahkan bahasa hatiku saat ini. Namaku Klarisa, aku seorang gadis yang sedang menempuh bangku sekolah menengah atas. Aku termasuk tipe gadis yang mudah memendam masalah, sehingga apapun yang terjadi padaku hanya aku simpan sebagai rahasia pribadiku, kusimpan rapat-rapat dalam hati agar tak seorangpun tahu. Sampai pada satu permasalahan yang tak dapat kusimpan seorang diri. Aku harus membaginya dengan orang yang bermain peran dalam cerita ini.
            Aku hanyalah gadis biasa dan seperti gadis remaja pada umumnya. Gadis yang telah berkenalan dengan satu kata dalam kamus remaja, yakni cinta. Aku telah mengenal dengan dekat seorang pemuda. Pemuda yang aku kenal sejak aku masih mengenakan seragam almameter putih biru. Kami bertemu dalam ketidak sengajaan dan berlanjut hingga menjadi keseriusan. Awalnya kami hanya sebatas berteman, kemudian bersahabat. Berawal dari persahabatan itulah kami mulai mengenal lebih dekat satu sama lain. Hingga akhirnya kami membuat hubungan kami menjadi sebuah hubungan dengan komitmen. Hubungan kami masih illegal karena kedua orang tuaku belum mengetahui. Hingga suatu saat aku menceritakan semuanya kepada ibuku. Saat aku menceritakan semuanya kepada ibuku aku telah mengakhiri komitmenku dengannya. Sehingga kami hanya berjalan bersama beriringan.
            Ibu paham benar bagaimana perasaanku padanya, begitu pula sebaliknya. Ibuku menyukai pemuda itu, karena dia adalah pemuda yang baik dan agamis. Mungkin ibu berpikir dia baik untukku karena perlahan dapat membawa pengaruh baik untukku yang notabene gadis biasa pada umumnya yang tidak terlalu agamis. Waktu berlalu, semakin lama ibu mengenalnya dengan baik. Jika ibuku telah mengetahui semuanya, aku yakin ayahku juga mengetahui hal serupa. Namun, karena notabene ayahku adalah tipe pendiam, ayah lebih banyak memendam semuanya. Waktu masih terus berjalan, begitu pula perjalananku dengannya. Walaupun kami telah mengakhiri hubungan, namun perasaan tetaplah perasaan yang tak dapat di ubah dengan mudah. Aku masih sering bertemu dengannya, dia juga sering berkunjung ke rumahku entah untuk suatu keperluan atau hanya sekedar mampir.
             Hingga suatu malam ketika aku sedang membicarakan pemuda itu dengan ibu, ayah mengatakan bahwa aku masih berada dalam masa sekolah. Masih sekolah tingkat dasar dan tidak seharusnya mengenal hal semacam itu. Kata-kata itu lalu mengikuti setiap langkahku, melekat kuat dalam pikiranku yang kemudian menyadarkan aku. Aku tahu, ayah juga menganggap pemuda itu pemuda yang sangat baik. Aku yakin ayah sebenarnya menyukai pemuda itu jika dia denganku. Ayah hanya mengkhawatirkan aku. Pada akhirnya, aku sudah tak kuasa menahan semuannya sendiri. Aku memutuskan untuk membaginya dengan pemuda itu. Mungkin dia memiliki solusi dalam hal ini.
            Aku mulai menceritakan semua padanya. Kurasa dia masih bingung dengan maksud pembicaraanku. Kemudian dia bertanya.
“Lalu apa maksudmu menceritakan ini semua?”
“Kamu tahu bagaimana perasaanku padamu. Aku tahu bagaimana kamu menyayangiku dan berkorban banyak untukku selama ini. Tapi aku juga menyayangi dan menghormati ayahku”
“Apa kamu ingin mengatakan bahwa kamu ingin benar-benar mengakhiri semuanya?”
“Tidak, bukan begitu maksudku. Aku juga tidak berniat mengembalikan amanah yang kau titipkan padaku. Aku hanya ingin menyeimbangkan semuanya. Antara kau dan ayahku”
“Lalu, apa yang kau inginkan sehingga berkata sedemikian itu?”
“Kau paham benar bagaimana hatiku padamu. Kau juga telah menitipkan sebuah amanah kepadaku. Apa itu berarti kau percaya padaku?”
“Aku sangat percaya padamu”
“Kalau begitu, izinkan aku mengatakan suatu hal. Simpan dan jaga baik-baik perasaanmu kepadaku, jangan kau beritahu siapapun tentang hal ini. Aku juga akan melakukan hal yang sama. Anggap kita hanya teman biasa, anggap kita hanya saling mengagumi, anggap aku belum mengetahui tentang perasaanmu itu. Begitu pun sebaliknya kamu belum tahu kalau aku menyukaimu”
“Apa ini? Bagaimana bisa aku melakukan hal itu?”
“Kamu bisa melakukan hal ini. Jika kamu yakin akan hatimu, kamu yakin bahwa kesetiaan kadang tak sejalan dengan kebersamaan. Yakinlah bahwa Tuhan akan menjaga perasaan kita berdua”
“Tidak, aku tidak mungkin sanggup melakukan hal itu”
“Kamu tahu, bagaimana aku sangat menghormati dan sangat ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Aku mencintaimu, tapi aku juga menghormati ayahku. Jika benar kamu mencintai dan menyayangiku, kamu akan bisa melewati semua ini. Dan jika saatnya tiba, kau boleh mengatakan bahwa kau mencintaiku kepada ayahku”
“Tapi…”
“Jika memang kau tak dapat menerima alasanku karena ayahku. Maka dengarlah alasan keduaku, mengapa aku mengatakan hal ini padamu. Kau adalah pemuda yang sangat baik dimataku, dan memang pada kenyataannya kau baik. Kepribadian dan sikapmu selama ini begitu terkesan dihatiku. Aku yakin, kau adalah pemuda yang baik untukku. Tapi semua itu membuatku sadar, bahwa aku bukan gadis yang baik untukmu. Ketahuilah aku tak sesempurna kelihatannya, aku tak sebaik yang kau kira. Jika menyadari hal itu ingin rasanya aku pergi berlari jauh darimu. Namun, aku tak bisa karena ku juga sadar bahwa aku terlalu menyayangimu. Aku takut kehilangan sosokmu yang selalu menjadi embun dalam pagiku. Dengan alasan bahwa aku bukan gadis yang baik untukmu dan kamu terlalu baik untukku, maka ijinkan aku sedikit melangkah jauh darimu dan membawa perasaanku untuk kusimpan dan ku jaga dalam hati. Aku akan berusaha menjadi sosok baik yang pantas untukmu. Percayalah, jika saat itu tiba aku akan kembali kepadamu dan memberikan hatiku untukmu lagi, sepenuhnya…”