Copyright © Jejak Karya
Design by Dzignine
Rabu, 30 April 2014

The Journey of My Love




Fifi Tiara Miftachul Janah

Aku masih ingat ketika kita berkenalan. Caramu memandangku membuat hatiku berdesir, semua kata-kata yang keluar dari mulutmu begitu manis, dan ketika kau mengajukan pertanyaan itu jadilah aku tak bisa tidur semalaman untuk memikirkan jawabannya. Baru kali ini aku merasakan hal semacam itu dalam hidupku. Bayangkan saja, aku baru mengenalmu satu bulan lamanya dan kau berhasil memikat hatiku dengan penampilanmu. Salahkah aku jika hanya bisa memandangmu dari penampilan saja? Kalau melihat kondisiku juga hubungan kita nampaknya jawaban yang tepat adalah, ya. Suara gemercik air selalu berhasil menenangkan hatiku. Ya, disinilah aku sekarang. Ditempat kita saling berbagi tawa, suka dan duka. Semua masih tersimpan dengan baik di memoryku dan sungai inilah yang menjadi saksi bisu cinta kita.

“Ghea!!!” suara teriakan seseorang membuyarkan lamunanku, kupalingkan wajahku dan kudapati Cila sedang berjalan kearahku sambil mengatur nafasnya.

“Astaga, gue nyari lo kemana-mana ternyata lo disini. Kenapa sih lo nggak bawa Hp, bikin orang kesel aja,” Cila duduk disebelahku. Cila adalah sahabatku sejak aku menjadi siswa di SMP Melati, walaupun kami baru bersahabat tapi kami sudah memahami karakter masing-masing.

“Iya, iya maaf,” jawabku lesu.

“Haaah, syukur deh lo masih hidup gue kira lo frustasi gara-gara putus sama Reno terus lo bunuh diri,“ ucap Cila dengan wajah innocent.

Aku tidak menghiraukan Cila. Pikiranku masih kacau, ini semua gara-gara Reno, mantan pacarku. Satu setengah tahun aku berpacaran dengannya dan baru kemarin kita putus. Kadang aku menyesali perasaanku padanya, jujur aku masih sangat menyayangi Reno tapi akhir-akhir ini dia banyak berubah, kasar, cuek, sering mengingkari janji dan tidak perhatian lagi padaku. Bahkan sampai sekarang aku masih mencari tahu penyebab Reno berubah, entah mengapa ada yang ganjil dari perubahan sikapnya.

“Ghe?“ panggilan Cila membuyarkan lamunanku.

“La, gue nggak bisa kayak gini. Lo harus bantu gue cari informasi tentang keluarga Reno,“ ucapku.

“Maksudnya? Kenapa yang lo cari informasi tentang keluarganya?“ Cila memiringkan wajahnya menatapku.

“Gue juga nggak tahu. Lo mau kan bantu gue?“ jawabku.

“Iya, apa sih yang nggak buat sohib gue ini.

Hari sudah sore aku dan Cila kembali ke rumah. Kuambil Hp dan kuceritakan semua masalahku pada Rika, teman sekelas Reno, jadi akan lebih mudah jika meminta bantuan padanya untuk mengumpulkan informasi tentang Reno.

Beberapa hari setelah itu Rika mengirimiku SMS dan mengatakan kalau ada adik kelas yang sedang dekat dengan Reno, Rika juga memberiku nomor Hp cewek itu. Segera saja aku menelpon nomor itu. Ternyata benar dia menyukai Reno tapi mereka tidak pernah pacaran, namanya May. Justru setelah mengetahui masalahku dia menawarkan diri untuk membantuku mencari tahu tentang Reno. Keesokan harinya  May memberikan informasi yang berhasil membuatku tidak bisa fokus ke pelajaran.

To: Ghea

Tadi aku lihat Reno bolos sama temen-temennya dan mereka ngerokok.

Aku benar-benar sulit menerima informasi itu. Reno pernah bilang kalau dia tidak merokok. Ah, tapi ini semua juga salahku. Beginilah jadinya jika aku hanya memandang dari parasnya saja dan terlalu percaya dengan ucapan-ucapan manisnya. Tapi sialnya, perasaan ini tidak pernah mau pergi. Bagaimana tidak, Reno adalah pacar sekaligus cinta pertamaku. Tak akan mudah bagiku untuk dengan mudah menganggap semua baik-baik saja.

“Ghe, ada apa lagi? Reno?“ tanya Cila tiba-tiba. Aku menyerahkan ponselku kepada Cila supaya dia membaca sendiri pesan dari May.

“Lo jangan percaya gitu aja Ghe, ini semua belum tentu benar,“ ucap Cila menenangkanku.

“Taulah La, gue capek. Ntar aja gue pikirin solusinya,“ jawabku sekenannya karena pikiranku sungguh sangat keruh, tak bisa memikirkan apapun.

Pukul 14.30 ketika aku sampai di rumah. Kubaringkan tubuhku sejenak sembari memikirkan pesan dari May tadi pagi. Rasanya aku masih tidak percaya kalau Reno sepert itu. Satu jam aku berkutat dengan prasangka yang tidak jelas, baik kepada May maupun Reno. Akhirnya kuputuskan untuk menanyakan langsung pada Reno.

To: Reno

Kenapa bolos sekolah?

To:Ghea

Maksudnya?

To:Reno

Tadi pagi lo bolos kan? Ngerokok juga?

To:Ghea

Oh itu, iya. Terus apa peduli lo?

To:Reno

Gue kasian aja sama ortu lo, kerja keras buat sekolahin anak kayak lo. Cari duit tuh nggak gampang, lo harusnya bisa menghargai semua itu

To:Ghea

Sebaiknya lo nggak usah ikut campur, lo nggak tahu masalah gue.

To:Reno

Ya udah tinggal cerita apa susahnya sih?

Selama berjam-jam aku dan Reno bertengkar melalui SMS, dan itu tidak terjadi satu hari saja melainkan dihari-hari berikutnya juga. Sebenarnya ada sebersit perasaan senang. Walaupun kami  bertengkar tapi paling tidak aku bisa berkomunikasi dengannya. Sampai suatu hari kami lupa dengan masalah ini dan sialnya aku terpikat dengan ucapan manisnya entah untuk keberapa kalinya. Ya, kami jadian lagi. Tiga bulan aku dan Reno kembali menjalin hubungan namun setelah itu kandas, lagi. Awalnya aku mau menerimanya kembali karena aku yakin kalau suatu saat nanti dia akan berubah, aku mencoba untuk memaafkannya dan melupakan fakta kalau dia sering membolos sekolah dan merokok. Dalam tiga bulan itu juga aku berusaha untuk menyadarkan Reno kalau perbuatannya itu salah tapi semuanya sia-sia. Reno semakin kasar padaku, tapi aku menangkap sesuatu yang ganjil, akhir-akhir ini ketika kami bertemu dia sering melamun dan saat aku bertanya Reno selalu mengalihkan pembicaraan, dan hal itu membuat aku semakin yakin kalau dia sedang ada masalah besar. 
Bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar